Rabu, 09 Mei 2012

LANGIT


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi….(Q. S. 3:190-191).

Gemerlap lampu kota telah merampas hak kerlip bintang-bintang di langit untuk menembus setiap kalbu. Sementara gedung-gedung tinggi menghalangi indahnya matahari terbit dan terbenam yang penuh makna. Ada sesuatu yang hilang dari kehidupan masyarakat kota: keindahan langit. Mungkin hal itu salah satu sebab kurang pekanya kalbu kita membaca ayat-ayat-Nya di alam.
Mungkin banyak di antara kita terbiasa membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil, tetapi sebatas formalitas dzikir sesudah shalat. Sehingga fenomena yang biasa kita lihat adalah mengejar kuantitas jumlah bacaan, kadang dengan ucapan yang kurang sempurna.
Dzikir sebenarnya tidak hanya diucapkan sesudah shalat, tetapi berlaku sepanjang kehidupan. Sayangnya suasana lingkungan dan kesibukan kota kadang melalaikan. Bila setiap hari hanya kemacetan dan gedung-gedung tinggi yang mewarnai suasana hati, mungkin dzikir terlupakan. Berganti dengan keresahan dan kejenuhan.
Beruntunglah bila masih sempat menikmati langit malam menjelang tidur atau menjelang shubuh. Matikan lampu luar beberapa saat. Pandangi langit bertabur bintang. Bila beruntung berada di lokasi yang tidak terlalu parah terkena polusi cahaya, “sungai perak” galaksi Bimasakti yang memiliki ratusan milyar bintang akan terlihat membujur di langit. Sesekali mungkin terlihat meteor seperti bintang jatuh.
Dalam keheningan malam, ingatlah Allah. Renungkan ayat-ayat-Nya yang terlukis indah di langit. Ucapan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil saat itu akan lebih mendalam merasuk kalbu daripada sekadar ucapan yang berpacu dengan hitungan biji tasbih atau buku-buku jari.
Di tengah keluasan langit, kita sadari bumi kita hanyalah planet mungil di keluarga matahari. Sedangkan matahari sendiri hanya sekadar bintang kecil di galaksi Bimasakti. Masih banyak bintang raksasa yang diameternya ratusan kali diameter matahari.
Galaksi dihuni oleh milyar bintang serta gas dan debu bahan pembentuk bintang-bintang baru. Padahal jumlah galaksi yang ada di alam semesta ini tak terhitung banyaknya.
Rabbana maa khalaqta haadza baathilaa, subhaanaka faqinaa ‘adzaabannar, “Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau! (Hanya Engkau yang Mahasempurna, kami manusia dhaif penuh kesalahan). Karenanya (ampunilah kami), jauhkan kami dari siksa neraka” (Q.S. 3:191).
Semakin dalam bertafakur, semakin sadar akan kelemahan dan kekecilan diri manusia. Dari segi substansi materinya, jasad manusia tidak ada bedanya dengan debu-debu antarbintang, sama-sama terbentuk di inti bintang. Namun nafsu manusia kadang menghanyutkan pada ketakaburan, merasa diri besar. Setiap yang besar, pasti ada yang lebih besar. Hanya Dia yang Mahabesar. Patutkah kita masih menyombongkan diri?
 
Dengan FirmanNya Allah mengingatkan kita:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi….(Q. S. 3:190-191).

Dalam suatu riwayat diceritakan, setelah ayat itu turun Rasulullah SAW menangis. Bilal yang menemuinya pada waktu shubuh bertanya mengapa Rasulullah sampai menangis. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa malam itu turun ayat yang amat berat maknanya. Padahal sedikit umatnya yang merenungkannya. 

T. Djamaluddin (Dimuat di Hikmah Republika, 13 September 1999)


CAHAYA SEMU


Setelah maghrib tiba, di langit bintang-bintang secara berangsur akan mulai menampakkan dirinya, pada suatu saat di langit barat akan tampak sebuah bintang yang sangat terang dan cemerlang, awan tipis kadang tak mampu membendung sinarnya. Itulah bintang barat yang lebih populer disebut bintang kejora. Atau disebut juga bintang senja  yang hanya tampak saat senja, yaitu sekitar maghrib dan Isya, karena sebelum malam gelap bintang tersebut akan terbenam.
Begitupula setelah fajar, bintang-bintang di langit  cahaya berangsur memudar kemudian menghilang, suatu saat di langit timur akan nampak sebuah bintang cemerlang, bintang itu disebut bintang timur atau bintang pagi. 
Sebenarnya kedua "bintang" itu bukan bintang yang sesungguhnya, melainkan hanya sebuah planet, yaitu planet Venus. Venus merupakan benda langit paling terang ketiga setelah matahari dan bulan yang bisa tampak sebagai bintang senja atau bintang pagi.
Mengamati langit pada awal Juli akan terasa nuasa semasa Nabi Ibrahim merenungi alam, menatap langit, mencari representasi Tuhan yang hakiki (Q.S 6:76-79). Saat malam mulai gelap tampaklah sebuah bintang. "Inikah Tuhanku?" kata Ibrahim. Tetapi bintang kejora tak lama tampak. Sekitar pukul 21.00 bintang kejora pun terbenam. Nabi Ibrahim pun berkata, "Aku tak menyukai yang tenggelam".
Beberapa saat kemudian terbitlah bulan yang cemerlang pasca purnama. "Inikah Tuhanku?" katanya. Namun saat pagi bulan pun memudar kemegahannya. Ibrahim pun berujar pada dirinya, "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk kaum yang sesat."
Saat pagi dilihatnya matahari yang paling cemerlang yang mengalahkan segala sumber cahaya. "Inikah Tuhanku? Ini paling besar", ujar Ibrahim dalam pencarian kebenaran. Tetapi saat maghrib matahari pun menghilang. Tidak mungkin Tuhan yang Mahakuasa bisa lenyap. Maka diserulah kaumnya, "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kamu persekutukan".
Kesimpulan pembuktian aqliyah tentang eksistensi Allah tersebut diabadikan dalam Q.S. 6:79 yang dijadikan salah satu doa iftitah pada awal shalat: "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Tuhan pencipta langit dan bumi, berpendirian lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik."
Kisah itu memberi pelajaran penting. Kemegahan dan keunggulan relatif adalah sifat makhluk yang berpotensi menipu manusia. Sejarah telah menunjukkan banyak kaum penyembah bintang atau matahari, mempertuhankan raja, atau minimal mengkultuskan seseorang. Untuk itu banyak juga yang mau berkorban demi mengagungkan sesuatu atau figur yang dipujanya. 
Padahal kemegahan atau keunggulan itu bisa jadi bukan sifat yang intrinsik pada objek itu. Bintang kejora adalah contohnya, Planet Venus itu tidak menghasilkan cahayanya sendiri. Planet yang dijuluki saudara kembar bumi yang jelita sekadar memantulkan cahaya bintang induknya, matahari. Kecemerlangannya diperoleh karena kedekatannya dengan matahari dan berada tidak jauh dari bumi.
Bintang kejora dipuji karena kecemerlangan relatifnya. Dijadikan lagu yang dinyanyikan anak-anak. Tetapi tak banyak orang tahu tentang hakikatnya, karena orang cukup kagum dengan kemegahan sinar pantulannya. Orang terlanjur menyebutnya bintang, padahal sekadar planet. Lingkungan planetnya pun sesungguhnya tidak bersahabat bagi kehidupan. Luar biasa panasnya dengan efek rumah kaca karena kandungan karbon dioksida yang sangat tinggi.
Dalam dinamika hidup manusia fenomena bintang kejora mudah ditemukan. Nepotisme pun mudah tumbuh dari fenomena seperti itu.Karena masyarakat kehilangan daya kritis untuk menelaah secara seksama sifat intrinsiknya, bila yang ditonjolkan sekadar sinar pantulannya yang cemerlang.
Satu-satunya cara menghindarkan diri dari tipuan fenomena bintang kejora adalah meresapi makna doa iftitah yang menyambung pernyataan Nabi Ibrahim tersebut: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam." Pengakuan atas mutlaknya kekuasaan dan keunggulan Allah yang tak ada yang mampu menandinginya.

Ramalan dan Bencana

Sebagian orang mungkin mempercayai ramalan bencana 5 Mei 2000 lalu. Superkonjungsi, berkelompoknya matahari, bulan, dan lima planet terang lainnya dalam area sempit di langit, diramalkan menyebabkan bencana alam yang hebat, gempa bumi dan banjir besar.
Istilah superkonjungsi dan ramalan seperti itu sepenuhnya berlandaskan nalar astrologi. Superkonjungsi tidak dikenal dalam terminologi astronomi. Astronomi mengenal konjungsi dalam makna dua benda langit tampak segaris bujur. Tidak mungkin terjadi konjungsi yang melibatkan banyak planet atau superkonjungsi.
Astrologi memang mengunakan posisi benda-benda langit untuk meramal nasib manusia, baik dalam konteks pribadi maupun konteks sosial. Ramalan bencana alam atau bencana sosial karena kekhasan posisi planet-planet merupakan salah satu ramalan astrologi.
Namun ada konsekuensi aqidah berkaitan dengan kepercayaan pada ramalan astrologi. Rasulullah menyampaikan peringatan Allah dalam hadits qudsi: “Siapa yang berkata hujan karena bintang ini dan itu maka telah kafir kepada-Ku dan percaya kepada bintang” (HR Bukhari-Muslim).
Allah menegaskan dalam Alquran, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami mengadakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS 57:22). Bencana bukan karena posisi suatu planet atau bintang, tetapi karena sunnatulah, ketentuan Allah.
Sunnatullah yang bukan mu’jizat dapat difahami secara logis, dianalisis secara saintifik, sehingga dapat dirumuskan sebab akibatnya. Apa yang tertulis di lauhul mahfudz tentunya bukan daftar bencana yang bakal terjadi di bumi dan diri manusia. Kalau yang dimaksud daftar bencana, upaya manusia akan sia-sia belaka: tak perlu berhati-hati di jalan raya dan tak perlu melakukan konservasi alam. Tentu bukan itu maksudnya. Tetapi yang tertulis, ketentuan-ketentuan-Nya dalam formulasi sunnatullah.
Sains berupaya mengungkap sunnatullah tersebut, sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan. Benda-benda langit mungkin menimbulkan bencana, tetapi bukan seperti argumentasi astrologi. Sains mengkaji gaya pasang surutnya, radiasinya, pancaran partikelnya, atau kemungkinan gangguan orbitnya yang bisa mengancam bumi.
Banjir diteliti apa sebabnya dan bagaimana seharusnya diatasi. Kekeringan, tanah longsor, kelaparan, wabah penyakit, sampai gempa bumi dan gunung meletus memungkinkan untuk dikaji sebab dan akibatnya. Kalau pun tidak dapat dicegah bencananya, setidaknya diminimalisasi dampaknya. Hasil kajian ilmiah tentang kemungkinan bencana bukan ramalan, tetapi prakiraan yang didasari alasan-alasan logis.
Alam hanya mengikuti hukum yang telah ditentukan Allah (QS 22:18). Ulah manusia yang mengganggu keseimbangan alam bisa menyebabkan bencana (QS 30:41). Pemanasan kota (’heat island’, terjadi juga di Jakarta) dan pemanasan global tidak lepas dari kontribusi gas buang kendaraan bermotor. Banjir, kekeringan, dan tanah longsor bukan semata-mata berkait dengan curah hujan, tetapi juga karena tidak terkontrolnya resapan air.  Penyakit mewabah bisa karena sampah, kebocoran limbah cair, atau polusi udara.
Egoisme manusia yang mementingkan kenyamanan diri kadang melupakan kondisi lingkungan. Pernahkah kita berfikir, jangan-jangan diri kita telah menjadi bagian egoisme manusia yang dampak bencananya jauh lebih besar daripada ramalan bencana superkonjungsi? Bencana antropogenik (dari manusia) bisa lebih hebat daripada bencana kosmogenik (dari alam semesta).