Hisab Imkanur-Rukyat:
Kriteria Awal Bulan Hijriyyah Persatuan Islam
Mohammad Iqbal Santoso
Metode penentuan awal bulan
hijriyah yang dilakukan oleh Persatuan Islam telah mengalami perkembangan. Semula Persis
hanya menggunakan hisab hakiki dan tidak menggunakan rukyat, karena hisab hakiki
dianggap sudah bisa menggantikan rukyat. Pada awalnya hisab hakiki yang
digunakan Persis berdasarkan ijtima qobla ghurub yaitu awal bulan
ditetapkan jika ijtima terjadi sebelum maghrib tapi bila ijtima terjadi setelah
maghrib maka dilakukan istikmal. Saat itu Persis menggunakan kaidah : “ijtimaa’un
nayyiroini itsbatun bainasy-syahrain”: Ijtima dua cahaya (bulan &
matahari) adalah pedoman penetapan batas dua bulan (qomariyah/hijriyah). Dasar
hukumnya adalah penafsiran terhadap lafadz 'manazil' dalam QS Yunus : 5
& QS Yasin:39, yang ditafsirkan bahwa ijtima adalah manzilah awal bulan
(munculnya hilal).
Setelah Muktamar tahun
1995 Persis membentuk Dewan Hisab dan Rukyat (DHR). Pembentukan DHR tersebut mencerminkan
keyakinan Persatuan Islam bahwa Hisab dan Rukyat memiliki kedudukan yang sama
dalam penetapan awal bulan hijriyyah. Karena selain Hisab memiliki dasar dalil
yang kuat dalam Alquran, Rukyat juga merupakan sunnah fi’liyyah Rasulullah yang
tidak bisa dihilangkan, tidak ada dalil dan alasan yang kuat untuk menghapuskan
Rukyat. Rukyat juga sangat diperlukan untuk menguji akurasi dan kesahihan hasil
Hisab, sehingga berdasarkan pengujian Rukyat tersebut Hisab bisa disempurnakan.
Hisab selain digunakan untuk menentukan awal bulan, Hisab juga digunakan untuk
memandu Rukyat, yaitu digunakan untuk memprediksi posisi, arah dan waktu
rukyatul hilal. Untuk menguatkan penggunaan hisab dalam pelaksanaan ibadah,
Dewan Hisbah dalam sidangnya tanggal 25 Rabiul-awwal 1422H / 17 Juni 2001M,
telah beristibat bahwa penetapan awal bulan hijriyah dengan hisab, sah untuk
melaksanakan ibadah.
Selanjutnya Hisab yang
digunakan Persatuan Islam adalah hisab “wujudul-hilal” (mirip yang
digunakan oleh Muhammadiyah sekarang). Kriteria wujudul hilal Persis saat itu,
adalah awal bulan hijriyah dapat ditetapkan jika setelah ijtima di seluruh
wilayah Indonesia “saat magrib posisi bulan harus berada di atas ufuk”, karena
ternyata saat maghrib setelah ijtima bulan tidak selalu terbenam mengikuti
matahari, atau adakalanya saat maghrib setelah ijtima, bulan terbenam
mendahului matahari, saat itu dasar hukum wujudul hilal tidak dijelaskan dengan
tegas.
Walaupun kriteria
wujudul-hilal sangat sederhana dan relatif mudah, tetapi tidak didukung argumen
ilmiah dan dalil yang qath’i, tetapi hanya berdasarkan ijtihadiyah. Tidak ada
dalil yang menyatakan dengan tegas bahwa awal bulan ditetapkan jika setelah
ijtima matahari terbenam mendahului bulan atau bulan masih berada di atas ufuk pada
waktu ghurub (matahari terbenam). Quran Surat Yasin ayat 39-40 yang dijadikan
dalil wujudul hilal sebenarnya
menegaskan bahwa matahari dan bulan masing-masing memiliki peredaran yang
berbeda (kullun fi falakin yasbahun) tidak ada kaitan dengan awal bulan
(hilal). Kelemahan lain dari kriteria wujudul-hilal adalah variabelnya terlalu disederhanakan,
yaitu hanya mengandalkan variabel ijtima & irtifa saja serta mengabaikan
faktor/variabel lain yang berpengaruh pada penampakan hilal. Agar bulan bisa
tampak sebagai hilal tidak hanya ditentukan oleh irtifa/ketinggian bulan saat
ghurub saja, tetapi tergantung pula pada jarak busur-bulan matahari, umur
bulan, iluminasi bulan (ketebalan hilal), kecerlangan langit, faktor cuaca dan
variabel lainnya. Sehingga kriteria tersebut kurang tepat menggunakan istilah ‘wujudul
hilal’ tapi lebih tepat istilahnya wujudul qomar, karena hanya menghisab
hisab posisi bulan wujud di atas ufuk saat maghrib setelah terjadinya ijtima.
Dalam astronomi pun tidak dikenal bahwa bulan dalam posisi tersebut sebagai
hilal.
Karena berbagai kekurangan hisab “wujudul hilal” tersebut, Persatuan Islam
kemudian menggunakan Hisab hakiki dengan kriteria imkanur-rukyat, karena
hisab imkanur-rukyat punya
landasan dalil yang kuat serta berdasarkan argumentasi ilmiah yang teruji.
Prinsipnya mengacu pada penegasan Rasulullah walaupun saat maghrib bulan berada
positif di atas ufuk, tetapi kalau "gumma",
maka bulan dalam posisi tersebut oleh Rasulullah tidak ditetapkan sebagai hilal
sehingga ibadah shaum dilaksanakan 30 hari (Muslim 1808). Hisab Imkanur-rukyat
merupakan upaya menghisab kapan bulan “berubah wujud” menjadi HILAL atau kapan bentuk
bulan tampak menyerupai 'urjunil qadim seperti yang digambarkan dalam QS
Yasin 39. Pendirian Persatuan Islam tersebut kemudian dikukuhkan oleh Dewan
Hisbah dalam sidang tanggal 26 Rabi’u-tsani 1433/19 Februari 2012 dengan istinbat
bahwa hisab awal bulan hijriyah adalah berdasarkan hisab imknur-rukyat
(visibilitas hilal)
Awalnya hisab imkanrukyat
yang digunakan Persis menggunakan kriteria kesepakatan MABIMS[1], tetapi kriteria
MABIMS tersebut banyak digugat, maka sejak tahun 2008 sudah tidak lagi
digunakan oleh Persis. Penolakan Persis terhadap kriteria MABIMS tersebut karena
kesepakatan MABIMS lebih menonjol sebagai “kompromi politis” bukan atas dasar
prinsip ilmiah, apalagi dalam banyak kasus kriteria tersebut bertentangan
dengan hasil pengamatan empirik di lapangan. Saat ini Persatuan Islam cenderung
menggunakan kriteria yang dirumuskan oleh Prof. Dr. T. Djamaluddin (astronom
senior LAPAN) karena dirumuskan berdasarkan data pengamatan empirik, yaitu data
hasil pengamatan hilal puluhan tahun oleh astronom profesional yang dihimpun
dari berbagai belahan dunia serta telah mengalami beberapa pengujian dan
penyempurnaan[2].
Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Bersama Dewan Hisbah dan Dewan
Hisab dan Rukyat Persatuan Islam yang diputuskan pada Sidang terbatas Dewan
Hisbah 8 Jumadi-tsani 1433 (31 Maret 2012), yang menetapkan bahwa Kriteria
Imkanur Rukyah harus didasarkan pada prinsip visibilitas hilal yang ilmiah,
teruji dan dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria hisab Imkan rukyat Persatuan Islam tersebut adalah: awal bulan
hijriyyah dapat ditetapkan jika setelah terjadi ijtima, posisi bulan pada waktu
ghurub (terbenam matahari) di wilayah Indonesia sudah memenuhi syarat:
a.
Beda tinggi antara bulan
dan matahari minimal 4 derajat, dan
b.
Jarak busur antara bulan
dan matahari minimal sebesar 6.4 derajat.
Kriteria tersebut sudah
memperhitungkan kecerlangan langit, hamburan cahaya senja, umur bulan, beda
azimuth, ketebalan hilal (iluminasi bulan), serta faktor cuaca lainnya.
Dengan semakin
berkembangnya IPTEK selain mengembangkan Hisab Imkanur rukyat, Persatuan Islam juga
akan terus mengembangkan teknik dan dokumentasi Rukyat, yaitu dengan penggunaan
teknologi & alat bantu Rukyat serta dokumentasinya, sehingga hasil rukyat
bisa diuji keabsahannya. Bagi Persatuan Islam, Rukyat juga tidak hanya
digunakan untuk penentuan awal bulan semata, tapi Rukyat juga akan dikembangkan
untuk menguji keabsahan hisab awal waktu shalat, gerhana dan bayangan arah
qiblat (rashdul-qiblat). Dalam pelaksanaannya Persatuan Islam menjalin
kerjasama dengan berbagai fihak yang memiliki kepedulian tentang pengembangan
teknologi Hisab & Rukyat.
Sampai saat ini Rukyat masih
tetap perlu dilakukan selain karena sunnah Rasul, tetapi karena masih adanya variabel
lain yang belum dimasukkan dalam hisab, misalnya faktor cuaca & kecerlangan
langit yang tidak mudah untuk dihisab. Sementara itu teknologi observasi perlu
terus dikembangkan sehingga dapat mengenali hilal dengan akurat meskipun
cahayanya masih lemah. Teknologi rukyat juga diperlukan untuk membantu agar kesalahan
Rukyat bisa diminimalisir dan diperoleh hasil Rukyat yang optimal dan akurat.
Alhamdulillah teknologi Hisab dan Rukyat terus
berkembang, karena keduanya saling melengkapi. Tidak mungkin ada Hisab tanpa
Rukyat, begitu pula Rukyat yang baik memerlukan panduan Hisab. Hisab terus
berkembang seiring dengan perkembangan iptek, semula hisab hanya dibantu tabel
sederhana kemudian menggunakan tabel logaritma dan kalkulator, sekarang hisab
sudah menggunakan program dan aplikasi komputer. Begitu pula teknik Rukyat,
tidak hanya mengandalkan “mata telanjang” dengan bantuan “gawang lokasi” ataw
menggunakan teropong sederhana dan theodolit. Saat ini rukyat sudah menggunakan
teleskop dengan tracking yang dipandu komputer yang diprogram agar
teleskop terus mengikuti dan merekam perjalanan bulan-matahari sehingga mampu
menyimpan rekaman hasil rukyat. Teknologi GPS (General Potitioning System) juga
digunakan agar lokasi Rukyat akurat. Ahli hisab harus membuktikan akurasi dan
kesahihan hisabnya dengan Rukyat. Selanjutnya berdasar hasil rukyat
akurasi hisab diperbaiki/ dikoreksi, sebagaimana dalam kitab-kitab Falak
dan Hisab, selalu ada ta'dil (koreksi). Bahkan dalam almanak Nautika
(yang dijadikan sumber data Hisab modern) selalu ada lampiran koreksinya. Begitu
pula pada beberapa program hisab yang menggunakan komputer ada up date/up
grade.
Dasar Hukum Hisab Imkanur-rukyat
Selain didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan Hisab, Hadits yang dijadikan pijakan hisab imkanur-rukyat
antara lain:
اِذَا رَأيْتُمُ
الـهِلاَلَ فَصُوْمُوا واِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَاِن غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Apabila
kalian melihat hilal, maka shaumlah dan jika kalian melihatnya (kembali) maka ahirilah shaum. Tetapi jika
terhalang (yang menyebabkan hilal tidak
tampak) shaumlah 30 hari (Muslim 1808)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah
kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila
kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh". (Bukhori
1776)
صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ
غَبِيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (متفق عليه)
Berpuasalah
bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya
(hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا
تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا
لَهُ (رواه مسلم)
Janganlah
kalian berpuasa hingga kalian melihat Hilal dan
jangan pula berbuka hingga melihatnya kembali. Namun, jika tertutup dari
pandanganmu, maka hitunglah/ tetapkanlah (30 hari) . (Muslim 1795)
صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ
حَالَ بَبْنَكُم وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلآثِينَ (رواه أحمد بن حنبل)
Berpuasalah
bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya.Tetapi
jika antara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan
Sya’ban 30 hari.
صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلآثِينَ (رواه مسلم)
Berpuasalah
bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya
(hilal). Tetapi jika terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (Muslim 1796)
Lafadz-lafadz : فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ- فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُمء وَبَيْنَهُ
سَحَابٌ - فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم - فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ dalam hadits di atas terkandung makna bahwa
jika hilal tidak terlihat atau
terhalang (walaupun di atas ufuq) maka hilal tersebut dianggap tidak/belum wujud. Artinya posisi hilal zaman Rasulullah yang dijadikan patokan awal bulan tidak cukup bulan hanya berada di atas ufuq mar-i saja, tetapi harus juga
memperhitungkan faktor cuaca atau harus memperhitungkan posisi bulan yang
memungkinkan bulan dapat terlihat sebagai hilal, karena hilal adalah cahaya pertama yang
dipantulkan bulan setelah ijtima atau qomar mar-i. Agar bulan menjadi hilal (saat maghrib setelah ijtima) tidak cukup hanya berada di
atas ufuk saja, tetapi bulan (yang berada di atas ufuk) tersebut harus memungkinkan untuk diamati/dirukyat (Imkan-rukyat).
Beberapa
Masalah
Selain masalah kriteria
hisab, terdapat pula masalah
yang berkaitan dengan Hisab Rukyat, antara lain:
1. Kriteria
orang yang hasil Rukyatnya dapat dipercaya, yaitu tentang syarat-syarat orang yang kesaksian rukyatnya dapat diterima. Ada yang menganggap
muslim yang disumpah sudah merupakan syarat cukup, tetapi ada pula yang
menambahkan syarat perlunya pengetahuan tentang hilal & rukyat
2. Penggunaan
alat bantu (kacamata, teropong, teleskop, dsj) dalam rukyat. Ada yang
membolehkan tetapi ada pula yang mengharamkan penggunaan alat bantu dalam
rukyat.
3. Hasil Rukyat
yang berbeda dengan hasil Hisab, yaitu jika hasil Rukyat yang bertentangan
dengan Ilmu Pengetahuan, apakah rukyatnya yang batal atau hasil hisabnya?
4. Berlakunya
hasil Rukyat dan hisab (apakah
berlaku setempat/lokal, nasional/satu negara atau berlaku untuk seluruh dunia/global) atau
masalah batas tanggal penanggalan hijriyyah.
5. Kewenangan otoritas yang berhak mengumumkan dan menetapkan awal bulan
hijriyah. Kebanyakan ulama menyepakati bahwa penetapan dan pengumuman harus
dilakukan oleh amir/kepala negara sebagaimana selalu dilakukan oleh Rasulullah
dan para Khalifah. Tetapi karena Indonesia bukan negara Islam maka ada kelompok
yang tidak mengakui penetapan/pengumuman yang dilakukan oleh pemerintah.
Tentang kriteria
orang yang hasil rukyatnya dapat diterima/dipercaya ada hadits
berikut:
جَاءَ أعْرَبيٌّ إلىَ النَّبيِّ .ص. فَقَالَ
إنِّى رَأيْتُ الهِلاَلَ قَالَ: أتَشْهَدُ أن لآَإِلَهَ إِلاَّ اللّه؟ قالَ
نَعَمْ. أتَشْهَدُ أنَّ محُمَّدًا رَسُولُ اللّهِ؟ قالَ نَعَمْ , قالَ: يَا بِلالُ
أذِّنْ فى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا. (رواه أبو داود عن عكرمة عن ابن عبّاس)
Seorang
badwi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat
hilal (Ramadhan)” Rasul bertanya: “Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah?” Orang Badwi tsb menjawab: “Ya”. Rasul bertanya lagi: “Apakah
engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?” Orang Badwi menjawab: “Ya”.
Kemudian Rasul bersabda: “ Ya Bilal beritahukanlah kepada orang-orang supaya
berpuasa esok hari”. (HR Abu Daud dari Ikrimah dan Ibnu Abbas)
تَرَائَ النَّاسُ الهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ
رَسُوْلَ اللَّهِ .ص. إنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
Orang-orang
sibuk melihat hilal. Saya mengabarkan kepada Rasulullah bahwa saya telah
melihat Hilal. Maka Rasulullah shaum dan memerintahkan orang-orang supaya shaum
(Hadits Riwayat Abu Daud dari Ad-darulqutni dari Ibnu Umar)
Berdasarkan Hadits
tersebut, orang yang hasil
rukyatnya dapat dipercaya adalah seorang muslim (aqil baligh) dan
disumpah.. Dalam
hadits tsb tidak dijelaskan apakah orang tersebut memiliki pengetahuan tentang
hilal dan rukyat atau tidak. Pada zaman Rasul pengetahuan tentang Rukyat dan Hilal
merupakan pengetahuan yang umum/lumrah dimiliki orang. Ketika itu,
untuk mengetahui penanggalan cukup dengan melihat bentuk & ukuran
bulan/hilal karena belum ada almanak seperti sekarang ini. Saat itu, dengan
melihat ukuran, bentuk dan
ketinggian bulan (pada waktu tertentu) orang dapat mengetahui
tanggal. Sedangkan zaman
sekarang orang-orang tidak terbiasa melihat hilal/bulan untuk penanggalan
tetapi langsung melihat almanak/kalender, sehingga kebanyakan orang tidak mengenal hilal
dengan baik terutama hilal awal bulan. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu
ditambah syarat lain yaitu selain Muslim aqil baligh dan Adil harus ditambah
memiliki pengetahuan tentang Rukyat/hilal. Hadits di atas juga mengisyaratkan
bahwa penetapan dan pengumuman shaum Ramadhan dan Idul Fitri harus dilakukan
oleh amir/kepala negara
Hasil rukyat
sering “diragukan” karena dipengaruhi unsur subjektif serta kondisi alam.
Umumnya tidak ada dokumentasi ilmiah hasil pengamatan rukyat (mencakup azimut,
irtifa’, waktu, posisi pengamat, kondisi cuaca, suhu, tekanan udara, rekaman
foto ataupun video, dll) yang bisa dijadikan bukti dan bahan analisa. Saat ini di langit
bisa ditemui benda yang mirip hilal. Karena langit kita sekarang sudah banyak “polusi” maka dimungkinkan
ada cahaya/benda mirip hilal atau diduga hilal. Misalnya yang terlihat saat rukyat
awal Ramadhan di Makasar tanggal 31 Juli 2011
yang lalu, ada citra
hilal yang terlihat dan terekam kamera, tetapi setelah dilihat ulang & dianalisa
ternyata yang tertangkap kamera tersebut bukan hilal. Untuk itu, hasil rukyat
yang diterima haruslah yang ada dokumentasi ilmiah hasil pengamatan rukyat dan ada bukti
rekaman citra hilalnya, sehingga hasil rukyatnya bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu bagi Persatuan Islam penggunaan teknologi
baik dalam Hisab maupun Rukyat merupakan suatu kaharusan. Apalagi hisab
visibilitas hilal merupakan masalah multidisiplin mulai dari astronomi, optik,
meteorologi, dan psikologi. Dokumentasi ilmiah dan bukti hasil rukyat bisa
digunakan untuk penyempurnaan kriteria yang telah ditetapkan. Sebaliknya klaim
rukyat tanpa dokumentasi apalagi bertentangan dengan IPTEK dan hisab wajib
ditolak.
Ketika seseorang
memberikan kesaksian telah dapat melihat hilal, maka pengamat harus dapat
memberikan penjelasan kapan pengamatan tersebut berhasil dilakukan dan dimana
posisinya. Penjelasan tersebut harus dibandingkan dengan data-data waktu
kenampakan Bulan untuk membuktikan kebenaran fakta yang dilaporkan oleh pengamat
hilal tersebut.
Jika garis batas tanggal
memotong suatu daerah atau wilayah dalam satu kekuasaan (wilayatul-hukmi),
maka garis batas tanggal tersebut hendaknya dibelokkan ke arah timur sampai
perbatasan wilayah tersebut. Artinya muslim di bagian timur mengikuti awal
bulannya muslim sebelah barat.
Tentang kewenangan atau
otoritas yang berhak mengumumkan dan menetapkan awal bulan hijriyah. Warga
Persatuan Islam diminta untuk mentaati edaran yang ditetapkan oleh ketua umum
PP Persis. Ketentuan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah belum
jelas dan tidak konsisten dalam menetapkan kriteria awal bulan hijriyah. Tetapi
jika pemerintah konsisten dengan kriteria imkanur-rukyat maka penetapan
pemerintah tersebut insya Allah akan sejalan dengan penetapan Persatuan Islam.
Kesimpulan & Harapan
1. Penetapan
awal bulan hijriyyah menurut Persatuan Islam dapat dilakukan berdasarkan metode Hisab dan
Rukyat. Karena selain Hisab memiliki dasar dalil Alquran yang kuat, Rukyat juga
merupakan sunnah fi’liyyah Rasulullah yang tidak bisa dihapus, serta tak ada alasan
dan dalil yang dapat menggugurkan Rukyat.
2. Hisab dan Rukyat
digunakan secara bersamaan, saling mendukung dan saling
melengkapi. Tidak
mungkin ada Hisab tanpa Rukyat, karena Hisab adalah rumusan model matematis
dari catatan hasil rukyat yang telah dilakukan sejak lama. Begitu pula Rukyat juga
diperlukan untuk menguji akurasi dan kesahihan Hisab. Selanjutnya berdasar
hasil rukyat akurasi hasil hisab diperbaiki/dikoreksi. Sehingga Hisab yang
digunakan harus bisa diuji akurasi kesahihannya dengan Rukyat.
3. Syarat orang yang mengaku melihat hilal, bisa dipercaya/diterima jika orang
tersebut:
- Muslim Dewasa (Aqil Baligh) yang Adil (bisa dipercaya/ tidak memiliki kebiasaan berbohong)
- Disumpah, serta
- Memiliki pengetahuan tentang Hilal & Rukyat
4. Kesaksian Rukyat tersebut
bisa diterima jika tidak bertentangan dengan Hisab (IPTEK), klaim rukyat yang
bertentangan dengan iptek/hisab wajib ditolak
5. Teknologi Hisab dan Rukyat harus terus dikembangkan, dikoreksi dan
disempurnakan dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK.
6. Metode hisab hakiki yang digunakan Persatuan Islam dalam menetapkan awal
bulan hijriyyah adalah menghisab hilal yang sesuai dengan hisab imkanur-rukyat,
sehingga Awal bulan hijriyyah ditetapkan jika saat maghrib setelah ijtima bulan
sudah berubah wujud menjadi “hilal” atau bulan sudah memungkinkan terlihat
sebagai hilal, yaitu awal bulan hijriyyah bisa ditetapkan jika di wilayah
Indonesia posisi bulan pada waktu ghurub/terbenam matahari (setelah terjadinya
ijtima) memenuhi syarat:
a.
Beda tinggi antara bulan
dan matahari minimal 4 derajat, dan
b.
Jarak busur antara bulan
dan matahari minimal 6,4 derajat
7. Kriteria hisab
imkanur-rukyat tersebut sudah memperhitungkan:
a.
Tinggi/Irtifa Hilal/Jarak
verikal dari ufuk
b.
Selisih azimut Bulan dan Matahari
(δA) atau Jarak
horizontal Bulan dan
Matahari
c.
Elongasi /Jarak Busur
Hilal dengan matahari
d.
Iluminasi: Bagian bulan
yang ber-”cahaya” atau ketebalan hilal
e.
Umur Bulan : Waktu dari
Ijtima sampai magrib, dll.
8. Pemerintah hendaknya dapat memfasilitasi adanya dialog agar dapat
merumuskan kesepakatan bersama dalam menetapkan kriteria awal bulan hijriyyah yang
memenuhi ketentuan syara,ilmiah, teruji dan dapat dipertanggung-jawabkan serta
konsisten terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan tersebut. Sehingga
keputusan pemerintah yang didasarkan kepada kesepakatan tersebut bisa ditaati
bersama
Wallahu a’lam
Garut, Jumadil-ula 1433H (April 2012M)
[1] Kriteria
imkanur-rukyat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan otoritas negara anggota
MABIMS (Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) yaitu:
·
Tinggi (Irtifa’) Hilal minimal 2˚;
·
Selisih Azimuth Matahari
dan Bulan minimal 3˚ (jarak horizontal
Bulan-Matahari); dan
·
Umur bulan minimal 8 jam (dihitung sejak ijtima’ sampai matahari terbenam)
[2] Antara lain menggunakan
data hasil pengamatan hilal yang dihimpun: Ilyas(1981-1988), Caldwey &Laney
(2001), Odeh(2004), dll, dengan beberapa koreksi & penyempurnaan, misalnya
dengan memasukkan data pengamatan yang menggunakan teleskop, serta menyisihkan
data pengamatan yang diragukan
alangkah baiknya jika dicantumkan juga referensi nya..
BalasHapus